Sunday, May 8, 2016

Rekonstruksi Konsep Pembangunan Ekonomi

 Konsep pembangunan yang selama ini diterapkan di negara berkembang telah menuai berbagai kritik.
Salah satu kritik terhadap konsep pembangunan tersebut adalah penggunaan paradigma dan pendekatan ekonomi yang berlebihan, yaitu konsep pembangunan tersebut mengukur keberhasilan pembangunan hanya dengan indikator-indikator ekonomi secara fisik. Konsep pembangunan ekonomi ini meyakini bahwa dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka akan tercipta trickle down effect dari ekonomi skala besar menuju ekonomi skala kecil (Malik, 2015).
Konsep pembangunan ekonomi yang mengagungkan konsep trickle down effect di Indonesia dimulai semenjak Orde Baru. Pada awalnya, konsep pembangunan ini menuai banyak pujian dari berbagai kalangan, bahkan Bank Dunia (1993) memasukan Indonesia ke dalam delapan negara dengan perekonomian ajaib karena pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Namun memiriskan, hanya berselang empat tahun julukan keajaiban tersebut pun hancur pada 1998.
Kekeliruan sudut pandang pembangunan ekonomi ini adalah pembangunan difokuskan pada sektor industri perkotaan dengan harapan peningkatan akan tercipta pertumbuhan ekonomi yang akan memperbaiki masalah kemiskinan di Indonesia. Pada kenyataannya, pembangunan ini menghasilkan penghisapan (backwash effect), bukan efek tetesan ekonomi (trickle down effect) seperti yang diharapkan. Pembangunan ekonomi seperti ini semakin memarginalkan posisi sektor pertanian di perdesaan.
Pembangunan ekonomi Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari wilayah perdesaan. Meskipun adanya anggapan bahwa pembangunan di perdesaan tidak secara signifikan menyumbang pertumbuhan ekonomi tetapi faktanya 62,6% penduduk yang berstatus penduduk miskin berada di wilayah perdesaan hingga September 2015.
Oleh karena itu, pembangunan di Indonesia baru bisa dikatakan berhasil apabila pembangunan telah menjangkau sebagian besar penduduk di perdesaan tersebut sehingga masyarakat perdesaan dapat melakukan mobilitas sosial-ekonomi (Yustika, 2015). Pembangunan ekonomi di perdesaan sebenarnya dapat dikembangkan dengan menghidupkan BUMDes di desadesa Indonesia.
BUMDes dapat melawan tengkulak-tengkulak yang selama ini menghisap para masyarakat desa sehingga masyarakat desa sulit keluar dari rantai kemiskinan. Peningkatan kemiskinan harusnya menjadi lampu kuning bagi pengambil kebijakan karena kemiskinan, itu pun pada dasarnya menggambarkan keterbelakangan, keterpurukan, ketertinggalan, dan ketidakberdayaan (Khomsan dkk, 2015).
Kemiskinan ini juga mencerminkan kegagalan dan kerapuhan konsep pembangunan ekonomi Indonesia selama ini (Arifin, 2015). ”The ideas of economists and political philosophers, both when they are right and when they are wrong are more powerful than is commonly understood. Indeed, the world is ruled by little else. Practical men, who believe themselves to be quite exempt from any intellectual influences, are usually slaves of some defunct economist.”
Kalimat tersebut merupakan penggalan dari Jhon Maynard Keynes (1961) yang tertuang dalam bukunya The General Theory of Employment. Potongan kalimat tersebut kiranya dapat menjadi renungan para ekonom pengambil kebijakan saat ini untuk segera tersadar dan rekonstruksi konsep pembangunan ekonomi Indonesia menjadi pembangunan ekonomi berbasis perdesaan.

YOSUA AGUSTIN TRI PUTRA
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro

Tulisan ini masuk dalam Koran Sindo Edisi 3 Mei 2016. Secara Online, Opini ini dilihat di http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=3&date=2016-05-03


Monday, May 2, 2016

Kodisi Ekonomi Sektor Pertanian dan Perdesaan di Tahun 2015

 “Kodisi Ekonomi Sektor Pertanian dan Perdesaan di Tahun 2015”

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2015 mengalami perlambatan. Hasil dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4, 79 persen dari target APBNP 2015 sebesar 5,7 persen. Hal ini sangat mengecewakan karena realisasi pertumbuhan ekonomi  kurangannya mencapai  1 digit dari target yang diharapkan. Adapun, trend penurunan pertumbuhan ekonomi dari tahun 2013 sampai dengan 2015 secara berurut adalah sebagai berikut  5,56 (2013), 5,02(2014), dan 4,79 (2015).

Grafik 1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan I-2014 - Triwulan IV-2015 (Persen)



Sumber: BPS(2016)

 Perlambatan laju pertumbuhan juga dialami oleh sektor pertanian yang merupakan salah satu sektor penyumbang terbesar PDB Indonesia. Pertumbuhan sektor pertanian hanya mampu mencapai 4,02 persen, menurun jika dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2014 yang mencapai 4,24 persen.  Perlambatan yang  paling mencolok dapat dilihat pada kuartal IV 2015, dimana laju pertumbuhan pertanian bahkan mencapai -23,34 persen bila dibandingkan kuartal yang sama pada tahun 2014 (q-to- q).

Grafik 1.2 Laju Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha Kuartal IV 2015 (persen)

  Sumber: BPS (2016)
Perlambatan laju pertumbuhan ekonomi sektor pertanian pada tahun 2015 tersebut berdampak  secara tidak lansung berdampak kepada peningkatan jumlah penduduk miskin di perdesaan dari 17,37 juta jiwa pada tahun 2014 menjadi 17, 89 juta jiwa pada tahun 2015 (BPS,2016).Selain tingkat kemiskian penduduk perdesaan, perlambatan pertumbuhan sektor pertanian pada tahun 2015 mempengaruhi Tingkat kesejahterahan petani di awal tahun 2016. Nilai tukar petani (NTP) yang merupakan salah satu indikator mengukur kesejahterahan petani mengalami penurunan secara beruntut dari  102,55 Januari, 102,23 Februari, dan terakhir 101,32 pada Maret 2016.
Meskipun demikian, sektor Pertanian salah satu sektor strategis pada perekonomian Indonesia. Sektor pertanian pada tahun 2015 masih sektor penyumbang PDB yang besar bagi Indonesia yakni Rp 1.174,5 Triliun dan juga penopang tenaga kerja terbanyak di Indonesia yakni sebanyak 37,75 juta tenaga kerja (BPS,2016). Oleh karena itu, perlu perhatian ekstra terhadap sektor pertanian karena memperhatiakan sektor pertanian sama dengan memperhatian hajat hidup orang banyak di Indonesia.